Sabtu, 04 Desember 2010

Pajak atau Malak


JAKARTA, KOMPAS.com
Pengelola warung tegal atau warteg yang memenuhi ketentuan pajak restoran terpaksa memutar otak menyiapkan strategi menghadapi pungutan pajak 10 persen oleh Pemprov DKI Jakarta mulai tahun depan.
Seorang pengelola warteg di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Yuli (54), memilih untuk membebankan pajak kepada konsumen. Dia memilih untuk menaikkan sedikit harga atau mengurangi porsi makanan.
"Ya paling nasinya disedikitin, atau sayurnya," katanya, Jumat (3/12/2010). Sedikit berbeda dengan Yuli, pengelola warteg di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Etik (42), kemungkinan akan menetapkan harga untuk minuman yang semula gratis. Seperti halnya teh tawar yang semula gratis, akan dikenakan harga.
"Bisa Rp 500, bisa Rp 1.000. Sebenarnya kalau sekarang di sini minuman yang enggak pakai gula itu gratis, tapi kalau ada pajak, mungkin bayar," katanya.
Demikian juga dengan Samsu (28). Meskipun merasa berat untuk menaikkan harga dagangannya, dia akan turut menaikkan harga jika warteg-warteg lain juga menaikkan harga akibat berlakunya pajak restoran tersebut.
"Kalau yang lain pada naik, ya saya ikut. Saya umum-umum saja," ungkap pengelola warteg di kawasan Buncit, Jakarta Selatan, itu. Ketiga pengelola warteg tersebut juga mengaku keberatan jika Pemprov memungut pajak 10 persen dari usaha mereka.
Seperti diberitakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai tahun depan diberlakukan pajak 10 persen untuk semua jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari, termasuk warteg, rumah makan padang, warung bakso, dan warung bubur.

dulu keluar rumah untuk minum kopi takut dipalak preman
lah sekarang yang palak malah pemda....
kacau.....

ntar tu dwit buat ngasih makan Orang² kayak Gayus (beserta rekannya)
Indonesia belum MERDEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post